Haruskah Adat
Dipertahankan?
Daerah Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan
daerah Minangkabau, merupakan daerah
yang sangat kental akan adat istiadat. Salah satu adat yang sampai sekarang
masih tetap hidup adalah adat di daerah Pariaman, yaitu adat babali. Sejarah lahirnya adat babali inipun tidak begitu jelas,
sehingga tidak ada yang menguatkan akan adat ini. Menurut adat ini dalam sebuah
pesta pernikahan, pihak perempuan memberikan sejumlah uang kepada pihak
laki-laki sebagai tanda bahwa laki-laki tersebut telah memiliki ikatan dengan
perempuan tersebut. Jumlah uang yang diberikanpun terbilang fantastis, yaitu
berkisar antara 10 sampai 25 juta, tergantung pada pekerjaan lelaki tersebut. Jika
kita lihat sekilas, tampak ada keanehan dari adat tersebut, karena adat ini tidak sesuai dengan ajaran agama
islam.
Dalam ajaran islam, pihak laki-laki
lah yang memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan sebagai mahar
dalam sebuah pernikahan. Adat babali ini sangat bertentangan dengan
ajaran islam, bahkan jika kita analisis secara mendalam adat babali ini sebenarnya menjatuhkan harga
diri laki-laki itu sendiri. Saya berani mengatakan demikian karena menurut
analisa saya sesuatu yang dibeli itu adalah barang. Nah, jika laki-laki di
daerah pariaman ini dibeli oleh pihak perempuan, maka sama halnya bahwa
laki-laki tersebut adalah barang yang bisa diperjualbelikan. Jika laki-laki
tersebut telah “dibeli” oleh pihak
perempuan, berarti pihak perempuan bisa memperlakukan laki-laki tersebut sesuka
hatinya karena laki-laki tersebut telah dibelinya.
Kedengarannya memang sangat tidak
etis, namun inilah realita yang saya temui di lapangan. Akan lebih fatal lagi,
apabila laki-laki tersebut tidak mempunyai pekerjaan setelah nikah sehingga ia
tidak mampu manafkahi istrinya. Biasanya pihak perempuan akan mulai
membicarakan hal-hal tersebut dalam kehidupan, seperti “lihat suami si anu, sudah dibeli mahal-mahal, kerjaannya tidak jelas”.
Itulah perkataan yang akan muncul apabila laki-laki tersebut tidak
berpenghasilan. Kalau sudah begitu siapa yang mau disalahkan, siapa pihak yang
akan bertanggungjawab akan hal itu, apakah tetua yang menjalankan adat itu mau
peduli dengan kejadian seperti ini? Tidak, pihak adat hanya menjalankan adat,
bagaimana kedepannya mereka tidak akan peduli.
Ada satu realita lagi yang saya
temui di lapangan, yaitu bagi seorang laki-laki yang mencintai seorang
perempuan, namun perempuan tersebut tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada
pihak laki-laki karena keterbatasan dana, maka laki-laki itulah yang akan
berusaha membanting tulang untuk mencari uang untuk kemudian diserahkan kepada
si perempuan tersebut. Setelah itu, pihak perempuanlah yang akan menyerahkan
uang tersebut kepada pihak laki-laki. Kalau seperti itu keadaannya, sama saja
dengan bohong karena adat hanya dijadikan sebagai simbol namun pelaksanaannya
terserah pada laki-laki dan perempuan itu sendiri. Hal ini tidak bisa
disalahkan, karena adatlah yang membuat mereka melakukan hal itu. Adat babali di daerah Pariaman ini sepertinya
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pariaman, tanpa memperhatikan
bagaimana keadaan pihak perempuan tersebut padahal tidak semua perempuan
mempunyai cukup uang untuk “membeli” laki-laki
tersebut.
Manusia bukanlah barang yang bisa
dibeli, namun manusia adalah makhluk yang sempurna. Menurut pemikiran saya,
hendaknya adat babali ini tidak usah
dilaksanakan lagi dalam kehidupan masyarakat Pariaman karena adat ini
seolah-olah beranggapan bahwa manusia, dalam hal ini laki-laki itu bisa “dibeli”.
Adat ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dan perkembangan zaman.
Jika laki-laki dan perempuan itu memang saling mencintai, maka hendaknya
selenggarakan saja acara pernikahannya tanpa harus pihak perempuan memberikan
sejumlah uang kepada pihak laki-laki. Hal ini akan lebih baik, karena dengan
demikian tidak ada pihak yang akan dirugikan. Adat memang bagian dari
kehidupan manusia, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa menjalankan
adat babali ini karena berbagai
faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga. Kalau pihak perempuan itu
tidak mampu untuk “membeli” laki-laki, tentu ia tidak akan menikah,ini sangat
tidak adil. Kalaupun adat ini tetap akan dijalankan, saya menyarankan kepada
pihak laki-laki untuk tidak meminta jumlah yang besar kepada pihak perempuan dan pelaksanaan adat inipun hendaknya
juga memperhatikan kondisi kedua belah pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar