Selasa, 17 April 2012


Haruskah Adat Dipertahankan?

                Daerah Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan daerah Minangkabau,  merupakan daerah yang sangat kental akan adat istiadat. Salah satu adat yang sampai sekarang masih tetap hidup adalah adat di daerah Pariaman, yaitu adat babali. Sejarah lahirnya adat babali inipun tidak begitu jelas, sehingga tidak ada yang menguatkan akan adat ini. Menurut adat ini dalam sebuah pesta pernikahan, pihak perempuan memberikan sejumlah uang kepada pihak laki-laki sebagai tanda bahwa laki-laki tersebut telah memiliki ikatan dengan perempuan tersebut. Jumlah uang yang diberikanpun terbilang fantastis, yaitu berkisar antara 10 sampai 25 juta, tergantung pada pekerjaan lelaki tersebut. Jika kita lihat sekilas, tampak ada keanehan dari adat tersebut, karena  adat ini tidak sesuai dengan ajaran agama islam.
            Dalam ajaran islam, pihak laki-laki lah yang memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan sebagai mahar dalam  sebuah pernikahan. Adat babali ini sangat bertentangan dengan ajaran islam, bahkan jika kita analisis secara mendalam adat babali ini sebenarnya menjatuhkan harga diri laki-laki itu sendiri. Saya berani mengatakan demikian karena menurut analisa saya sesuatu yang dibeli itu adalah barang. Nah, jika laki-laki di daerah pariaman ini dibeli oleh pihak perempuan, maka sama halnya bahwa laki-laki tersebut adalah barang yang bisa diperjualbelikan. Jika laki-laki tersebut telah “dibeli” oleh pihak perempuan, berarti pihak perempuan bisa memperlakukan laki-laki tersebut sesuka hatinya karena laki-laki tersebut telah dibelinya.
            Kedengarannya memang sangat tidak etis, namun inilah realita yang saya temui di lapangan. Akan lebih fatal lagi, apabila laki-laki tersebut tidak mempunyai pekerjaan setelah nikah sehingga ia tidak mampu manafkahi istrinya. Biasanya pihak perempuan akan mulai membicarakan hal-hal tersebut dalam kehidupan, seperti “lihat suami si anu, sudah dibeli mahal-mahal, kerjaannya tidak jelas”. Itulah perkataan yang akan muncul apabila laki-laki tersebut tidak berpenghasilan. Kalau sudah begitu siapa yang mau disalahkan, siapa pihak yang akan bertanggungjawab akan hal itu, apakah tetua yang menjalankan adat itu mau peduli dengan kejadian seperti ini? Tidak, pihak adat hanya menjalankan adat, bagaimana kedepannya mereka tidak akan peduli.
            Ada satu realita lagi yang saya temui di lapangan, yaitu bagi seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan, namun perempuan tersebut tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada pihak laki-laki karena keterbatasan dana, maka laki-laki itulah yang akan berusaha membanting tulang untuk mencari uang untuk kemudian diserahkan kepada si perempuan tersebut. Setelah itu, pihak perempuanlah yang akan menyerahkan uang tersebut kepada pihak laki-laki. Kalau seperti itu keadaannya, sama saja dengan bohong karena adat hanya dijadikan sebagai simbol namun pelaksanaannya terserah pada laki-laki dan perempuan itu sendiri. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena adatlah yang membuat mereka melakukan hal itu. Adat babali di daerah Pariaman ini sepertinya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pariaman, tanpa memperhatikan bagaimana keadaan pihak perempuan tersebut padahal tidak semua perempuan mempunyai cukup uang untuk “membeli” laki-laki tersebut.
            Manusia bukanlah barang yang bisa dibeli, namun manusia adalah makhluk yang sempurna. Menurut pemikiran saya, hendaknya adat babali ini tidak usah dilaksanakan lagi dalam kehidupan masyarakat Pariaman karena adat ini seolah-olah beranggapan bahwa manusia, dalam hal ini laki-laki itu bisa “dibeli”. Adat ini juga tidak sesuai dengan ajaran agama Islam dan perkembangan zaman. Jika laki-laki dan perempuan itu memang saling mencintai, maka hendaknya selenggarakan saja acara pernikahannya tanpa harus pihak perempuan memberikan sejumlah uang kepada pihak laki-laki. Hal ini akan lebih baik, karena dengan demikian tidak ada pihak yang akan dirugikan. ­­­Adat memang bagian dari kehidupan manusia, namun dalam kenyataannya tidak semua orang bisa menjalankan adat babali ini karena berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi keluarga. Kalau pihak perempuan itu tidak mampu untuk “membeli” laki-laki, tentu ia tidak akan menikah,ini sangat tidak adil. Kalaupun adat ini tetap akan dijalankan, saya menyarankan kepada pihak laki-laki untuk tidak meminta jumlah yang besar kepada pihak perempuan         dan pelaksanaan adat inipun hendaknya juga memperhatikan kondisi kedua belah pihak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar